Post Info TOPIC: Nasib Relawan... 1
ir-ones

Date:
Nasib Relawan... 1
Permalink   


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/24/sh05.html

Relawan di Meulaboh, Tak Diacuhkan dan Dibilang Orang Gila


MEULABOH - Bau tak sedap segera tercium saat saya bersalaman
dengannya.
Laki-laki ini terlalu besar bila dibandingkan dengan orang Indonesia
umumnya. Dengan cambang, kumis dan bewok menyatu serta lusuh celana
dan
baju, malah makin menambah sangar penampilannya. Saya pikir seperti
inikah
kini profil para relawan yang dengan gagah berani tiba di daerah yang
katanya paling parah kena bencana tsunami itu. Menurutnya, sudah
hampir dua
minggu ia berada di Meulaboh. Dia menolak memberikan nama lantaran
tak enak
hati bila makin merusak suasana duka di Meulaboh.
Tidak lama mengobrol dengannya, tiba-tiba keluar pengakuan dari
mulutnya
komentar yang berisi "ketidakenakan-ketidakenakan" selama me-nunaikan
tugas
sebagai sukarelawan di Meulaboh. Meulaboh, katanya sangat berbeda
dengan
beberapa berita yang pernah mengabarkan tentang daerah
ini. "Kerusakan yang
ada memang tidak bisa di bilang sedikit, namun kehadiran kami
sepertinya
tidak mendapat dukungan warga," urainya memberikan analisa.
Tindakan apatis warga Meulaboh inilah yang kemudian menjadi bahan
omongan
di kalangan sukarelawan. "Suasana Meulaboh sudah tidak kondusif untuk
para
sukarelawan seperti kami," ujarnya kepada saya, Kamis (20/1) lalu.
Mereka amat tercekat dengan ketimpangan perilaku psikososial yang ada
di
Meulaboh. Ketimpangan psikososial yang "jomplang" dan tidak mereka
perkirakan akan terjadi inilah yang tampaknya kemudian menjadi momok
bagi
banyak sukarelawan di kota tersebut kemudian hari. Tampaknya relawan
kita
yang di Meulaboh mulai merasakan ketimpangan psikososial ini sebagai
momok,
kini. Banyak dari mereka yang sekarang cenderung berpikir ke arah
lain, atau
bahkan yang paling parah timbulnya pemikiran untuk secepatnya keluar
dari
daerah tersebut saja." Buat apa membantu bila memang orang di sana
tidak
ingin dibantu," kata sukarelawan lainnya yang tidak mau disebut
namanya.
Sungguh aneh, saya kira. Orang-orang tangguh seperti para sukarelawan
ini,
bisa tiba-tiba seperti terjebak dalam suasana keraguan seperti itu.
Sebab,
ternyata mereka berada dalam suasana tidak saling mendukung. Satu sisi
kemanusiaan mereka berontak melihat banyaknya bantuan yang diperlukan.
Namun, di sisi lainnya hati kecil mendongkol karena penduduk kota
Meulaboh
ternyata tidak bersahabat. "Pernah saya sibuk mengangkat korban,
beberapa
warga kota malah asyik minum kopi di seberangnya," ungkapnya dongkol.
Suasana tidak saling mendukung itulah yang kini menjadi momok bagi
banyak
sukarelawan di Meulaboh. Beberapa dari mereka memutuskan pulang
secepatnya,
karena tak merasa dihiraukan. "Koordinasi juga sulit dengan Danrem
setempat,
membuat posisi kami di sana mengambang" ujar sukarelawan lainnya.

Menurut ceritanya, selama dua minggu berada di Meulaboh ia praktis
hanya
menunggu komando dari satkorlak setempat. "Kadang kalau mereka butuh
tiga
orang dari kami segera kami berangkat, kadang hanya dua saja. Bila
tak ada
pekerjaan praktis kami hanya duduk-duduk saja sepanjang hari"
ceritanya.
Proses menunggu itulah yang membuat mereka merasa kurang memberikan
bantuan
seperti yang diharapkan.
Hingga di tengah kegalauan itu mereka memutuskan melakukan apa saja
yang
sekiranya bisa disebut bantuan tenaga. "Kadang kami ke pelabuhan
membantu
membawa beberapa barang yang harus diturunkan. Itu kami lakukan secara
spontan karena bosan kami menunggu komando saja," urainya.
Satu hal lain yang juga menjadi banyaknya pemikiran negatif yang
timbul
dari para sukarelawan di sana merupakan tindakan tidak jujur yang
dilakukan
warga setempat. "Mereka juga cenderung membodoh-bodohi kami,"
tambahnya.
Alasannya kadang mereka tahu bahwa ada beberapa masyarakat di sana
yang
mengganti-ganti nama dan masuk ke tiap posko yang memberikan
bantuan. "Data
jadi tak valid, karena ada kemungkinan nama yang tercantum palsu,"
ceritanya.

Orang Gila
Bukan bohong, ternyata hal tersebut juga diungkapkan oleh Acil,
sukarelawan dari Bandung. Ia yang saya temui di kota Medan, beberapa
waktu
sebelumnya, menjelaskan juga berbagai kesedihan yang mereka alami
sebagai
sukarelawan.
Menurutnya, menjadi sukarelawan seperti di Meulaboh ini teramat
anehnya.
Orang-orang kota seperti tak peduli saja dengan kejadian yang baru
mereka
alami. Kebanyakan dari mereka juga kini mulai tak bersahabat dengan
para
sukarelawan tersebut.
"Beberapa dari mereka malah menertawakan dan memberikan julukan 'orang
gila' untuk kami saat menanyakan tentang berbagai data di sana,"
ungkapnya
miris. Namun ia tidak menganggap semua olok-olok padanya itu sebagai
sebuah
keseriusan. "Mungkin warga sudah bosan ditanyai hal yang sama terus
menerus.
Jadi mereka cenderung mengolok-olok bila ada orang bertanya hal yang
serupa," ungkapnya tetap dengan keriangan.
Kekurangbersahabatan para warga di Meulaboh juga dirasakannya, saat
beberapa mayat masih berada di jalan-jalan depan rumah mereka. Warga
hanya
sibuk menonton saja. "Pernah suatu waktu saya sedang membersihkan
sebuah
rumah sakit, para penduduk malah hanya menonton saja," ungkap lelaki
bertubuh kecil ini.
Namun kesemua cerita itu mereka simpan dalam-dalam saja, dan hanya mau
diceritakan bila memang situasi mendukung. Beberapa dari mereka
mengaku tak
enak hati bila harus membeberkan hal tersebut pada khalayak ramai.
Selain
suasana yang masih dianggap berduka, juga lantaran tak mau dianggap
sebagai
pengeluh di tengah kondisi serba sulit seperti saat ini.
Miris mendengar semua cerita mereka. Bagai sebuah badai kegalauan
menerpa.
Menguji niat tulus dengan cemooh. Beberapa goyah dan memutuskan
meninggalkannya. Sebagian terus bertahan dengan mata tetap menatap
pada
keyakinan bahwa yang mereka lakukan bukanlah sesuatu dosa. (SH/str-
sulung
prasetyo)



__________________
ir-one

Date:
RE: RE: RE: Nasib Relawan... 2
Permalink   


Mengevakuasi Mayat Hingga Sakit, Lalu Meninggal

Tidak biasanya Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq,
menjawab pertanyaan melalui telepon selular dengan nada bergetar.
Biasanya, dia selalu tegar. ''Aridi telah pergi. Dia meninggal
sebagai syahid!'' kata Rizieq ketika ditanya atas meninggalnya
seorang relawan FPI, Kamis (20/1) dinihari, di Cirebon. Aridi (45
tahun) meninggal setelah mengevakuasi mayat korban bencana alam di
provinsi itu.

Rizieq mengatakan Aridi telah bertugas selama seminggu di Aceh.
Selama itu, almarhum membantu mengevakuasi mayat di banyak tempat
seperti di Ulee Lheu, Lhok Nga, Ajun, Ponge, dan Blang Cut. Selama di
Aceh, salah satu pendiri FPI Cirebon itu, cerita Rizieq, telah
melakukan kerjanya dengan penuh semangat. Dari pagi sampai siang
Aridi kerja mengubur dan mencari jenazah. Rizieq menyatakan ia pun
sering lupa makan, dan tampaknya itulah yang membuat dia jatuh sakit.

Aridi adalah anggota rombongan relawan FPI yang datang pertama kali
di Banda Aceh. Untuk sampai ke sana, mereka harus menumpang kapal
selama lima hari lima malam. Mereka diturunkan di Pelabuhan
Lhokseumawe dan kemudian meneruskan perjalanan dengan truk terbuka ke
Banda Aceh selama dua belas jam.

Koordinator Nasional FPI, Hilmy Bakar, mengatakan Aridi dan rekan
relawan lainnya harus berhujan-hujanan dalam perjalanan ke Banda
Aceh. Perjalanan itu, kata dia, memang menguras tenaga. Kalau
kecapaian dan kebetulan fisiknya lagi drop (turun), tegasnya, ya
jelas sakit. Habib Rizieq mengungkapkan beberapa kali Aridi sempat
jatuh pingsan. Untuk memulihkan kesehatannya, FPI menyerahkan
penanganannya kepada relawan medis yang tergabung dalam Mer-
C. ''Setelah dirawat Mer-C, dia pulih kembali. Kata dokter, akhi
Aridi hanya kecapaian. Ia kemudian diminta istrirahat selama tiga
hari,'' kata Rizieq.

Meski dokter sudah meminta bapak ini istirahat, hal itu malah
membuatnya jengah. Dia merasa tidak betah karena harus menganggur,
sementara rekan-rekan relawan FPI lainnya sibuk bekerja. Aridi pun
meminta pulang. Dalam kondisi lemah, ia diantar rekannya sesama FPI
Cirebon menumpang pesawat Hercules. Tiba di Jakarta, ia langsung
balik ke Cirebon. Ternyata, kata Rizieq, Aridi pulang untuk selamanya.

Tiga hari beristirahat di kampungnya, kesehatan Aridi sebetulnya
sempat membaik. Tiba-tiba, tutur Rizieq, pada Kamis malam itu ia
pingsan lagi dan tidak tertolong. Kerja mengevakuasi mayat seperti
yang dilakukan Aridi itu jelas bukan kerja main-main. Banyak relawan
di Aceh yang kini hanya menjadi turis lokal karena ngeri ketika
diminta menjadi tim pengevakuasi mayat. Apalagi, mayat yang sudah
terendam air selama tiga pekan sudah susah diangkat. Banyak tubuhnya
yang tidak lengkap lagi dan anggota badannya pun kerap kali jatuh
tercerai-berai ketika diangkat.

Belum lagi kabar santer mengenai penyebaran bakteri dan ancaman
infeksi tetanus. Hal inilah yang membuat banyak relawan lebih memilih
menghindari kerja yang dilakukan Aridi bersama 1.200 anggota FPI
lainnya. Seorang rekan kerja Aridi, Matsuni, mengatakan kerja
mengangkat mayat itu layaknya kerja bertaruh nyawa. Selain harus siap
tenaga ekstra, dukungan fisik yang kuat merupakan syarat mutlak.
Apalagi, jika mengevakuasi di daerah penuh dengan bangunan rubuh yang
digenangi air.

Kalau wilayah kerja tidak terlalu tergenangi air, kata Matsuni,
mereka bisa bekerja cepat. ''Sehari bisa 400 jenazah yang kami
evakuasi,'' tandasnya. Pada kenyataannya, mereka hanya bisa
mengangkat rata-rata 200-250 jenazah per hari. Hingga kini, FPI telah
evakuasi sekitar 6.000 mayat. Terkait nasib keluarga almarhum Aridi,
Rizieq mengatakan dalam beberapa hari ke depan akan ada utusan ke
rumahnya. Yang pasti, tegasnya, selain memberikan sumbangan dan
menyatakan rasa bela sungkawa, FPI juga akan memberikan beasiswa bagi
seluruh anaknya.

Cerita relawan yang sakit memang tak hanya terjadi pada FPI.
Bebeberapa relawan dari Medan dan Jakarta juga terkena penyakit kulit
dan gatal-gatal. Gatal-gatal tersebut berasal dari percikan cairan
tubuh jenazah yang dievakuasi. Begitu juga yang dialami tim evakuasi
dari Universitas Malikul Saleh yang tergabung dalam Posko Bencana
Aceh (PBA). Mereka mengaku sudah terjangkit gatal-gatal sejak Jumat
(7/1).

Presiden Susilo Bambang Yudhono menargetkan pembersihan jenazah di
Nanggroe Aceh Darussalam selesai pada pertengahan Januari ini. Fakta
di lapangan berkata lain. Berbagai kendala menghadang kerja
kemanusian itu, mulai dari ketiadaan dukungan peralatan berat hingga
minimnya tenaga relawan yang bersedia melakukan kerja tersebut.

Dari sekitar 137 kelompok relawan yang sekarang beroperasi di Aceh,
misalnya, hanya sekitar lima belas kelompok yang melakukan kerja
mengangkut mayat. Yang lainnya, memilih kerja di bagian logistik
pengungsi. Banyak juga yang sekadar jalan-jalan dan berfoto-foto.
Jalur pengabdian yang 'terjal' itulah yang didaki oleh Aridi bersama
rekan relawan FPI lainnya. Meski mereka datang dari berbagai wilayah
seperti Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Ambon, dan lainnya,
semuanya bekerja dengan kompak.

Cara kerja mereka dibagi dalam 12 kelompok yang terdiri atas 80
orang. Pembagian kerjanya dilakukan dengan sistem shift. Dalam sehari
dilakukan tiga kali pergantian kerja. Hingga Jumat (21/1) kemarin,
evakuasi mayat sudah mencapai lebih dari 90 ribu jenazah. Sementara
orang yang masih hilang mencapai 132.172 orang. Namun, bagi FPI
mereka sudah bertekad akan terus bekerja sampai seluruh mayat korban
bencana telah dimakamkan. Untuk Aridi, selamat jalan. Semoga arwahmu
diterima di sisi Allah SWT. Amin.


__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard