Post Info TOPIC: Musibah Akhir 2004, secercah harapan dibaliknya
Syawaluddin

Date:
Musibah Akhir 2004, secercah harapan dibaliknya
Permalink   



Musibah Tsunami menghantam Aceh dan Indonesia, dan menghempasnya masuk ke tahun 2005. Sampai Jumat silam, kebanyakan perkiraan jumlah korban untuk Aceh, cenderung konservatif - dari 44 ribu, menurut Departemen Sosial di Jakarta, sampai 80 ribu menurut PBB. Tapi diperkirakan jumlah korban di Aceh bisa mencapai 100 ribu jiwa. Dampaknya di berbagai sektor, bakal terasa sampai sedikitnya 10 tahun mendatang. Tsunami menjadi lambang - dan kedasyhatannya menjadi tonggak zaman, yang menutup tahun 2004 dengan musibah kemanusiaan.



Orang mulai mencari-cari kesalahan manusia, padahal yang terjadi adalah bencana alam belaka. Tsunami berasal dari kata Jepang "Tsu" yang berarti pelabuhan, dan "nami" atau gelombang. Jadi tak ada hubungannya dengan jadwal pasang dan surut. Tsunami menghempaskan gelombang air setinggi pohon kelapa, ke daratan, sampai beberapa kali, kemudian meng-hempas-balik ke arah laut. Pasang dan surut itu terjadi secara dasyhat. Dan semua itu berkat pergesekan sejumlah lempeng bumi di dasar laut, di palung palung bumi, di bawah laut, lepas pantai Meulaboh, Aceh Barat.

Namun, siapa yang mengira gempa di dasar laut yang menciptakan gelombang tsunami itu bakal terjadi?

Tamparan air itu menghempas dengan kecepatan 700 sampai 900 kilometer per jam. Semakin jauh dari pusat gempa, gulungan ombaknya makin dasyhat kecuali jika terhalang pulau. Dia telah diketahui sejam sebelum menampar Thailand, 20 menit sebelum tiba di Banda Aceh, dan dua jam sebelum menghantam Srilangka dan India.


Peringatan dini

Orang, dengan mudah, segera berbicara mengenai perlunya sistim peringatan dini. Tapi apa artinya sistim itu, jika tak ada pra-sarana persiapan, mobilisasi dan sosialisasi pengorganisasian bantuan darurat yang mampu bergerak cepat? Atau jika peringatan sejam lebih dulu itu tidak digubris karena takut akan merusak kepentingan industri wisata seperti di Thailand itu? Justru kecuekan itu yang malah menghabisi industri wisata itu.

Barangkali paling menarik adalah mempelajari dan memantau gerak gerik fauna. Logikanya sama dengan memantau gerak gerik burung menjelang gempa darat, seperti dilakukan di Cina. Seorang penyelam Jepang di dekat Pulau Weh, antara Banda Aceh dan Sabang, mendengar gemuruh luar biasa dari kedalaman air, dan melihat ikan ikan besar sudah bersembunyi di gua gua, sesaat sebelum Tsunami menampar Aceh.

Jadi, ikan di kedalaman laut, burung di Cina, tapi juga gajah-gajah di Srilangka dapat mencium lebih awal suatu gejala yang menciptakan musi-bah kemanusiaan. Artinya, ironinya adalah kebinatangan itu sebenarnya memiliki kecanggihan yang lebih tinggi ketimbang kecanggihan manusia moderen itu sendiri.

Ambil contoh sebuah kantor PBB di ibukota Austria Wina di Eropa. Kantor seismologi ini belakangan diketahui telah mencatat getaran hebat di se-berang Meulaboh itu beberapa jam sebelum Tsunami menghantam Asia. Tapi kantor itu tutup pada hari Minggu, dan instansi itu tidak berwenang menyampaikan berita ke negara negara lain.


acehpo.com

__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard