Post Info TOPIC: Meulaboh Menangis Panitia Ketawa
ir-ones

Date:
Meulaboh Menangis Panitia Ketawa
Permalink   


Meulaboh Menangis panitia ketawa
Laporan Aboeprijadi Santoso, Meulaboh, 25 Januari 2005
FotoŠ Hans Jaap Melissen; komposisi redaksi internet

Hampir sebulan setelah musibah gempa dan gelombang tsunami, tangis
untuk Aceh seperti tak berhenti. Tangis itu datang dalam berbagai bentuk
bantuan. Baik milyaran dolar yang dijanjikan dunia, maupun yang telah datang dalam bentuk natura di Aceh. Pada umumnya bantuan pangan, obat-obatan dan pakaian itu datang dan tersalur cukup baik. Namun demikian belakangan temponya lambat dan ada saja tikus-tikus atau pihak ketiga yang di sini disebut "panitia", yang melahapnya di tengah jalan.


Tiga pola
Operasi bantuan kemanusiaan Indonesia di Meulaboh seolah semacam mikrokosmos dari makrokosmos Indonesia. Niatnya baik dan solidaritas rekan
sebangsa dariluar Aceh sangat tinggi. Namun banyak kalangan mencatat ada amburadul operasi yang dilaksanakan bakorlak setempat ini. Ada tiga pola penyaluran bantuan.


Pertama bantuan datang, melapor kepada satgas korlak yaitu danrem TNI, kemudian langsung bekerja. Itulah yang dilakukan tentara-tentara dan lsm-lsm asing. Kedua, ada juga bantuan yang datang dari luar Aceh dan langsung menuju
titik-titik tempat para korban yang membutuhkan. Misalnya kamp-kamp
pengungsi dan rumah sakit. Inilah yang dilakukan oleh sejumlah lsm Jakarta,
Medan, Universitas Gadjah Mada, tim Rumah Sakit Dokter Sardjito dan juga tim
PKS Partai Keadilan Sejahtera.

Sebuah tim yang datang sejak hari pertama dan menjadi harum karena
menyelamatkan banyak orang, adalah tim kedokteran dari Universitas Hasanuddin.
Radio Nederland juga menyaksikan sebuah konsorsium bantuan yang dioperasikan oleh KSSP dari Medan yang didukung lembaga Terre des Hommes, Prancis cabang Belanda dan Jerman. Tetapi ada pula pola ketiga yang dilakukan banyak pihak yaitu dengan melapor, lantas mempolkan bantuan di kantor-kantor TNI seperti di Kompi C di Meulaboh. Di kamp itu pula kebanyakan wartawan dan relawan menginap, dan sekaligus dapat menyaksikan operasi bantuan. Sabtu lalu misalnya sebuah truk dari Medan berisi ratusan karung pakaian bekas dan baru harus dijaga karena banyak anak-anak lokal datang dan mengambil isinya. Mereka segera diusir aparat, tapi belakangan truk itu harus mampir di sebuah posko aparat TNI untuk menurunkan kira-kira seperempat dari karung-karung besar itu.

Tikus-tikus dan panitia
Masalahnya tidak hanya kehadiran tikus-tikus itu. Tapi juga koordinasi dan birokrasinya membuat koordinasi lamban dan sampai sekarang kantong-kantong
pakaian itu masih tertumpuk, belum juga terbagi kepada para pengungsi. Variasi
lain dari pola ketiga ini juga tampak dari polling bantuan di lapangan udara
Polonia, Medan. Sebuah sumber mengatakan sebagian bantuan Amerika
berisi boneka untuk akan kecil diganti dengan selimut. Praktek ini jelas merupakan kolusi terbuka, sebab sejak kapan Amerika mengirim barang dengan daftar muatan berbahasa Indonesia. Suara-suara anonim, datang dari para relawan
Palang merah Indonesia PMI. mereka juga kecewa mengapa pada hari pertama banyak
truk TNI sibuk mengangkut barang milik anggotanya dan membiarkan PMI bekerja
sendiri mengevakuasi ratusan jenazah. Para relawan juga mengeluh, pada kemana
tenaga-tenaga Aceh yang ada? Mengapa semuanya seolah diserahkan kepada
relawan-relawan luar Aceh.
Sebaliknya kami menyaksikan regu-regu militer Singapura dan Amerika bekerja
efisien di Lanud Polonia dan para relawan paramedis memuji peran serta tim
Prancis yang membangun kembali sekolah dan mendirikan klinik di Meulaboh. Tapi
yang paling runyam adalah jika kritik-kritik semacam itu, datang dari para
korban sendiri dan ditujukan kepada aparat tentara maupun pejabat lokal. Dalam
hal ini khususnya para keucik yaitu kepala desa, dalam membagi-bagi bantuan yang datang dari luar. Kalangan pengungsi menyebut mereka dengan istilah panitia:
Pengungsi: "Ya kalau Indonesia menangis sudah wajar. Jadi malah ibaratnya
seperti saudara-saudara kita yang ada di luar propinsi Aceh kan. Semua
bersusah-payah membantu bagaimana bangsanya harus diselamatkan, yang
sudah selamat. Tapi sekarang kalau kita pikir-pikir kalau bantuan memang
cukup penuh, yang rakyat akan membanjir. Tapi saya rasa rakyat Meulaboh ini tidak membutuhkan bantuan itu. Kalau seandainya membutuhkan, barang-barang ini kan sudah dibagi."

Radio Nederland: "Mengapa kok bisa begitu menurut bapak?"
Pengungsi: "Kurang tahu, pak. Karena kita juga tidak punya hak sebagai seorang
pengungsi. Seadanya yang kita terima. Jadi yang kita harus selamatkan, seperti
kami-kami ini memikirkan keluarga kami sendiri. Bagaimana yang selamat ini harus diselamatkan kembali. Kan begitu dia. Yang tidak sekolah bagaimana
harus bisa sekolah. Jadi untuk masa depan, siapa yang mengganti pejabat-pejabat
ini atau pun yang melanjutkanlah pendidikan-pendidikan. Kalau memang kayak
gini kan semua jadi bodoh akhirnya."

Harus rebut hati rakyat
Kekecewaan para pengungsi yang tidak sabar menantikan pemulihan kehidupan mereka itu, barangkali hanya berlebihan. Masalahnya hanya sepuluh ribuan
pengungsi Meulaboh tertampung di kamp-kamp. Sedangkan dua puluhan ribu lainnya
menumpang di kerabat atau meninggalkan Aceh. Akan tetapi jika trend kritik
semacam itu berkelanjutan, ini hanya merugikan citra TNI dan pemda lokal. Padahal banyak perorangan TNI, bahkan juga dandim dan danremnya berperan terpuji pada menit-menit pertama dan pada minggu pertama tsunami di Meulaboh
sebulan lalu. Krisis pasca tsunami bagaikan besi yang hanya dibengkokkan ketika dia membara.Saat-saat seperti itulah yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai
peluang emas aparat sipil dan militer untuk merebut hati rakyat Aceh, yang sudah terluka dan sekarang ketiban bencana ini.


ttp://www2.rnw.nl/rnw/id/spesial/aceh_pasca_tsunami/meulaboh_nangis05
0125


 



__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard