Post Info TOPIC: Rekonstruksi Aceh
Suara Pembaharuan

Date:
Rekonstruksi Aceh
Permalink   


KITA memang tidak boleh terus-menerus larut dalam kesedihan. Sekitar seratus ribu jiwa rakyat Aceh dinyatakan hilang dalam bencana tsunami - menyusul gempa superkuat di barat Sumatera. Air mata kita belum lagi kering. Luka karena duka yang menyayat hati kita belum pula sembuh. Tetapi, adakah gunanya memelihara pilu?

Bencana sebesar ini memang belum pernah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan. Badan PBB bahkan menduga proses pemulihan Aceh akan memerlukan waktu setidaknya lima hingga sepuluh tahun.

Ya, sudah waktunya kita bicara soal rekonstruksi Aceh. Tetapi, sebelum pekerjaan rekonstruksi itu kita laksanakan, kita harus membuat definisi yang seluas-luasnya tentang makna rekonstruksi. Apakah rekonstruksi identik dengan membangun ulang jembatan yang ambruk karena salah konstruksi? Mengapa harus kita ulangi kesalahan yang sama ketika melakukan rekonstruksi?

Kemarin, Prof Sardono W Kusumo, Rektor Institut Kesenian Jakarta, mengumpulkan beberapa orang temannya untuk bincang-bincang soal "rekonstruksi" Aceh. Ada tiga orang Aceh hadir dalam diskusi itu: Ubiet Nyak Ina Raseuki, seorang penari dan koreografi; Kamal Arief, seorang arsitek kenamaan; dan Prof Dr Junus Melalatoa yang saat ini mengepalai Litbang IKJ. Teman-teman lain yang datang adalah Garin Nugroho, Tommy Awuy, Marco Kusumawijaya, Saeful Anwar, dan saya.

Sebelumnya, Sardono juga telah mengumpulkan para seniman Aceh di Jakarta untuk memikirkan Aceh Baru, sebuah Aceh di masa depan yang terbebas dari kesalahan masa lalu, dan berpegang pada nilai-nilai adat dan budaya Aceh.*

*

GEMPA yang disusul tsunami superdahsyat pada 26 Desember 2004, telah menguak kesalahan masa lalu kita dalam memperhatikan kearifan-kearifan ekologis maupun sosial dan budaya.

Salah satu kesalahan pembangunan masa lalu adalah "hilangnya" konsep meunasah dalam tatanan masyarakat Aceh. Secara sederhana, meunasah dimengerti sebagai mushalla desa. Tetapi, meunasah bukan sekadar tempat beribadah. Ia lebih mirip sebagai asrama bagi anak laki-laki di desa itu, yang bahkan tinggal di sana untuk bersama-sama belajar dan bekerja.

Dalam makna yang lebih luas, meunasah adalah sebuah komunitas. Kehidupan masyarakat desa selalu berpusat di meunasah. Semua produk budaya juga muncul dari lingkungan meunasah. Kajian dan pemahaman yang mendalam tentang konsep meunasah ini perlu ada, sebelum kita mengayun cangkul pertama membangun Aceh kembali.

Kesalahan lain yang cukup kentara dalam pembangunan Aceh di masa lalu adalah terabaikannya pemahaman tentang daya dukung lingkungan. Dalam tulisannya kemarin di sebuah media terkemuka, Prof Emil Salim mempertanyakan absennya hutan bakau dan kelapa di sepanjang pesisir Sumatera.

Seandainya ada "sabuk pengaman" di kawasan pantai Sumatera, tentulah tsunami kemarin tidak menimbulkan korban jiwa sedemikian besar. Ya, kearifan lingkungan baru menjadi buah bibir kita semua. Belum menjadi laku atau jalan hidup kita.

Kami berpikir, dan menyerukan, agar pembangunan kembali Aceh nanti akan menghasilkan Aceh Baru atas dasar dan pemahaman yang holistik tentang daya dukung lingkungan, sosial, dan budaya. Pengertian daya dukung lingkungan perlu memperhatikan kehadiran setiap potensi geological hazard di wilayah itu - yaitu gangguan alam yang mungkin terjadi karena kenyataan geologi dan topografi.

Kami juga menyerukan agar dengan sense of urgency kita segera melakukan kajian sosial, budaya dan lingkungan yang menyeluruh untuk memperoleh the big picture tentang Aceh. Kami tidak ingin pembangunan Aceh kembali hanya terpaku pada hitungan teknis serta anggaran proyek.

Bukan hanya bangunan fisik yang harus dibangun kembali di Aceh. Luka dan trauma dalam jiwa rakyat Aceh harus disembuhkan. Budaya dan kehidupan sosial rakyat Aceh yang dinamis harus dihidupkan kembali.

*

DALAM memikirkan Aceh pascabencana, sebagian dari kita juga sudah menerima berbagai pesan singkat SMS dengan berbagai informasi yang menyesatkan. Antara lain, munculnya isu SARA - baik selama periode bantuan kemanusiaan maupun untuk Aceh pascabencana.

Untuk pascabencana, isunya adalah tentang anak yatim yang hanya boleh diadopsi oleh keluarga Muslim. Juga beredar wacana bahwa dalam membangun Aceh kembali, kaum Tionghoa tidak punya tempat di sana. Ethnic cleansing yang terjadi sebagai akibat sebuah bencana?

Tidak sedikit pula SMS menyesatkan yang seolah-olah memberitakan bahwa di daerah bencana terjadi penjarahan, pemerasan, pembakaran rumah dan toko, bahkan pemerkosaan terhadap keluarga-keluarga Tionghoa.

Dari pengamatan saya di Meulaboh awal pekan ini, khususnya di kawasan bisnis yang sebagian besar merupakan lahan usaha kaum Tionghoa, tidak ada bukti terjadinya hal-hal seperti itu. Begitu juga pembicaraan saya dengan berbagai warga Tionghoa di Meulaboh serta mereka yang mengungsi ke ke Blang Pidie dan Medan, kejadian seperti yang disebut pesan SMS itu tidak terjadi dalam skala yang signifikan. Perkosaan bahkan tidak pernah menjadi isu di sana. Gila apa?

Untungnya, pengurus Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa) dengan cepat mengeluarkan seruan agar warga Tionghoa di Indonesia tidak terpancing dengan berbagai disinformasi yang tampaknya memang sengaja diciptakan untuk menyulut ketakutan.

Isu SARA adalah isu paling jahat yang dimunculkan dalam kedukaan yang sedang menyelimuti negeri ini.

*

SEORANG pejabat tinggi negara sempat terdengar menyatakan bahwa untuk mempercepat pembangunan kembali Aceh akan dilakukan penunjukan kontraktor secara langsung. Tidak melalui tahap tender. Ini jelas merupakan manifestasi sense of crisis yang amat keblinger.

Bukan begitu, Bung, caranya melakukan percepatan. Setiap proses harus tetap dilakukan. Dan setiap langkah dalam proses itulah yang harus dipercepat. Mem-bypass proses berarti membuka peluang untuk terjadinya kecurangan. Mengapa pula kita selalu punya mentalitas "ambil kesempatan dalam kesempitan"?

Cara berpikir yang seperti itulah yang harus senantiasa kita waspadai. Jangan sampai musibah ini malah membuka peluang bagi para pejabat untuk menambah kekayaan hingga keturunan ketujuh. Rakyat harus tetap waspada, agar tidak dibodohi lagi oleh para peja- bat. Jangan sampai kita kehilangan akal. Apalagi karena dana akan mengucur deras dari berbagai penjuru dunia untuk membangun Aceh kembali.

Semoga tangan Tuhan akan menuntun setiap orang yang berperan dalam upaya membangun Aceh kembali. Napoleon Bonaparte pernah berkata: setiap krisis merupakan kesempatan besar bagi jiwa agung untuk muncul dalam panggung kehidupan. Semoga jiwa agung itu adalah Anda.*

Bondan Winarno
suarapembaruan.com


__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard