Post Info TOPIC: Rencong, Simbol Kepahlawanan Yang Makin Padam
Kompas

Date:
Rencong, Simbol Kepahlawanan Yang Makin Padam
Permalink   


Tjoet Njak Dien tak mampu menyembunyikan marah dan kecewanya kepada Panglima Laot, tangan kanannya yang setia. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Panglima Laot menyerahkan diri kepada pasukan Belanda. Meskipun Laot melakukan itu karena tidak tega dengan kondisi pejuang perempuan yang semakin renta itu.

"Ya Allah, ya Tuhanku, inikah nasib perjuanganku, diserahkan kepada penjajah?" gugatnya. Ketika Letnan Van Vureen, komandan pasukan yang akan menangkapnya mencoba mendekat, Tjoet Njak yang meradang dengan sisa-sisa kekuatannya langsung mencabut rencong dari pinggangnya dan mencoba menikam Van Vureen.

Penggalan cerita itu menegaskan keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh. Pada masa perjuangan, hampir setiap pejuang Aceh, terutama laki-laki, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri.

"Sekarang, membawa rencong justru bisa mendatangkan masalah karena ada larangan membawa senjata tajam. Bisa-bisa kita dikira mau macam-macam. Rencong hanya dipakai saat menikah atau ikut pawai kesenian," tutur Helmi, seorang warga Lhokseumawe.

Setelah tak lagi lazim dibawa sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cenderamata. Tanda bahwa seseorang sudah pernah menginjak bumi Aceh. Hampir di semua toko kerajinan yang menjual suvenir khas Aceh memajang rencong.

Jika di masa aman hampir setiap orang bisa bebas membeli rencong, saat keadaan sedang gawat seperti sekarang pembeli rencong kebanyakan anggota TNI dan polisi dari luar Aceh yang ditugaskan ke Aceh.

Toko-toko suvenir di Lhok Seumawe umumnya memajang contoh rencong ukuran mini yang dikemas dalam pigura. Di bagian tengah, biasanya tertempel foto pemesan disertai nama dan asal kesatuan. Situasi yang membatasi "penggunaan" rencong ternyata berimbas pula kepada perajin rencong.

Kampung Meunasah Blang, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, termasuk kampung yang dulunya terkenal sebagai tempat perajin rencong. "Setelah keadaan tidak aman dan pesanan rencong berkurang, mereka memilih beralih menjadi pembuat pisau dapur dan parang," tutur Ishak (50).

Ayah enam anak ini adalah salah satu pembuat keris aceh yang mencoba bertahan. Kemampuan yang dipelajari dari ayahnya, lebih dari sekadar warisan pekerjaan atau gantungan hidup. Meskipun kondisi keamanan tidak menentu dan usahanya seret, Ishak mencoba mempertahankan usaha, yang juga merupakan caranya mengaktualisasi diri di tengah masyarakatnya.

Saat kondisi tubuh mulai kalah oleh usia, ia masih sanggup menyelesaikan dua rencong ukuran sedang dalam sehari. Itu dilakukannya sejak pukul 06.00 di halaman rumahnya.

Bahan baku utama rencong adalah besi putih sebagai mata pisau dan tanduk kerbau untuk gagangnya. Dengan bantuan anak perempuannya, Ishak memotong potongan besi putih. Bahan baku besi itu disediakan pemesan. "Dulu, saat modal masih cukup, saya menyediakan besinya. Tetapi sekarang, pemesan yang datang membawa sendiri. Itu pun mereka dapat dari bekas karoseri mobil," kata Ishak.

Untuk menempa potongan besi menjadi rencong, ia menggunakan peralatan sederhana. Anak perempuannya menyusun pelepah kelapa kering untuk dibakar pada sebuah tungku tanah.

Setelah potongan pelepah mulai menyala menjadi bara, ia memukul-mukul besi itu, membentuknya menjadi sebilah mata pisau berujung lancip, dengan lekukan menyerupai bunga yang sedang mekar di pangkalnya. Selama Ishak bekerja, anak perempuannya tidak beranjak dari sisinya dan terus meniup bara api agar tidak padam.

Ishak hanya berhenti saat makan siang dan jika waktu shalat. Besi yang sudah ditempa masih harus dihaluskan dengan gerinda. Suara decitan logam saling beradu, sesekali memercikkan bunga api. "Rencong itu harus sangat tajam ujungnya," kata Ishak.

Setelah mata pisau siap, maka giliran tanduk kerbau sebagai bahan gagang pisau dan sarungnya yang disiapkan. Rencong yang bergagang tanduk kerbau warna putih dihargai lebih mahal dari yang hitam. "Tanduk kerbau yang putih itu susah didapat," ucapnya.

Untuk urusan tanduk kerbau, Ishak cukup dibuat repot karena bahan bakunya makin sulit didapat. Tanduk kerbau harus dicari sampai ke Sigli, Meulaboh, bahkan Medan.

Senin (1/8) lalu, ia sedang beruntung. Sebilah rencong yang ia kerjakan langsung ditawar orang yang berkunjung. Rencong sepanjang 30 sentimeter itu ia hargai Rp 150.000, jauh di bawah harga toko yang kadang lebih dari dua kali lipatnya. Ishak mengatakan, biasanya ia membuat rencong mulai dari ukuran terkecil 3 inci, sampai 12 inci.

"Dulu, waktu masih aman, hampir tiap hari ada yang membeli langsung ke mari. Tetapi sekarang, paling-paling tentara atau wartawan yang berani bawa," ujarnya sambil tersenyum.


__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard