Post Info TOPIC: Absurditas Hukuman Cambuk Sebagai Praktik Keadilan
acehkita

Date:
Absurditas Hukuman Cambuk Sebagai Praktik Keadilan
Permalink   


Setelah sekian lama muncul kontroversi tentang praktik hudud (hukuman pidana) terhadap pelanggar pidana Islam (hukm al-jinâyat), kini pelan-pelan cerita itu menjadi sejarah. Mahkamah Syariah Kabupaten Bireuen, Provinsi NAD menetapkan pelaksanaan hukuman cambuk terhadap tujuh warga yang didakwa melakukan perjudian. Saat ini eksekusi tinggal menunggu instruksi dari penjabat Gubernur, Azwar Abu Bakar, yang secara lisan telah menyambut baik sejarah pelaksanaan hudud pertama di Provinsi NAD. Terlihat perkara ini lebih menarik perhatian karena efek fenomenalnya. Lebih tepatnya, efek sensualitas berita demi kepentingan kekuasaan yang belum bisa dideteksi secara dini. Hura-hura momentum lebih berharga dibandingkan kaidah hukum Islam sebenarnya (qawâ-id al-fiqhiat).

Jika kita refleksikan kembali peran dan konsistensi hukum dalam masyarakat, dapat dinilai apakah hukum telah berdaya secara positif dalam masyarakat, atau malah sebaliknya, hukum pun tidak memiliki fungsi penyegaran moralitas sosial masyarakat? Hukum masih menjadi cara ungkap yang terbata-bata tentang moral keadilan, karena ia menjadi instrumen koersif yang hanya dirasakan langsung oleh masyarakat rentan, miskin, tak-berakses, dan minoritas. “Hukum adalah bahasa kegembiraan sang raja untuk menundukkan lawan-lawan kekuasaannya,” ungkapan Machiavelli dalam Il Principe.

Dalam kasus Syariat Islam di Aceh, hukum malah menempati level yang lebih rendah lagi. Kondisi krisis sosial-politik berupa konflik menjadi sebab hukum tidak berasaskan epieikea (adil dan benar) dalam masyarakat. Kejahatan yang terorganisasi dan di-back up oleh penguasa hampir tidak mendapat tempat dalam konteks hukum epieikea tersebut, karena kerangka formal hukum telah dikuasai secara penuh oleh instrumen kekuasaan yang sejak awal memproduksi, bertanggung-jawab, menegakkan, dan mempertahankan kesaksian naratif atas sumber-sumber legitimasi moral hukum.

Dalam konteks penaskahan eksekusi hukum, dapat dinilai secara gamblang bahwa hukuman cambuk enam kali yang diterima para terdakwa penjudi tersebut tidak wajar jika dibandingan bobot pelanggaran yang dilakukan. Kejahatan mereka adalah berjudi dengan jumlah total bukti kurang dari Rp 50 ribu. Bandingkan dengan kejahatan lain yang masih leluasa melepaskan jas zalimnya di tengah masyarakat. Apakah mata hukum tidak melihat dengan lebih jeli perjudian atas nasib rakyat Aceh akibat krisis keamanan yang dirasakan selama hampir dua tahun belakangan (dalam konteks darurat militer dan sipil)?

Begitu banyak kasus impunitas yang tak terungkap dan terkubur diam dalam nisan-nisan tak bernama. Bagaimana dengan kejahatan perniagaan dan bantuan kemanusiaan?

Berita terakhir sungguh pilu, ribuan ton logistik bantuan kemanusiaan untuk Aceh telah berbulan-bulan terkatung-katung di pelabuhan Belawan, Medan. Bagaimana hukum melihat para penjahat lingkungan hidup bisa bebas berkeliaran dan terus melakukan tindakan pembalakan hutan secara serampangan tanpa pernah sedikit waktu pun memikirkan aspek etis kehidupan sosial makhluk yang berdiam di atasnya?

Apakah hukum hudud tidak memiliki pisau untuk juga melihat kemungkinan memotong tangan koruptor yang telah merugikan uang rakyat puluhan miliar? Bahkan sungguh fenomena di dunia dongeng, dana taktis advokasi hukum masyarakat miskin digunakan untuk membayar pengacara penguasa yang secara riil terbukti mengorupsi dana publik selama berkuasa. Di sini secara sarkastik hukum bertindak sebagai boneka kesenangan penguasa.

Saya memang tidak ingin memasukkan perdebatan materialisme-konsepsional syar’iah tentang hukuman cambuk itu atau ikut-ikutan merancang wacana hukum untuk menolaknya. Namun dari gambaran di atas dapat dilihat penawaran-penawaran lain bahwa di tengah bukti empiris (?) euforia masyarakat Aceh untuk menyongsong pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah (komprehensif), apakah ada kolerasi positif pemberlakuan hukum tersebut dan arah perubahan sosial yang lebih baik bagi masyarakat Aceh secara kaffah pula.

Seperti yang telah muncul dalam masyarakat, tidak ada yang menyambut akta eksekusi pertama dalam sejarah Aceh sebagai sejarah yang perlu dirayakan kecuali hanya di kalangan elite kekuasaan. Di lingkungan akademisi kampus saya lihat lebih banyak olok-olokan tentang pemberlakuan hukuman cambuk tersebut daripada serius membedahnya. Mengejar tikus lebih mudah daripada menangkap macan.

Malah yang menguat, pemberlakuan hukum lebih memberikan kolerasi negatif terhadap perubahan sosial. Masyarakat lebih banyak memicing-micingkan mata melihat giatnya Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama, dan Mahkamah Syariah merumuskan sebanyak mungkin pemberlakuan hukuman pidana Islam dalam masyarakat, namun di sisi lain lupa memberikan harapan-harapan islami dan kemenangan di hati dan spiritualitas mereka.

Bukankah esensi Syariat Islam adalah mendahulukan amar ma’ruf dan bukan langsung mengemplang dengan tindakan nahi mungkar? Bagaimana tentang pentingnya menegakkan pendidikan hukum Islam kepada masyarakat? Apakah tidak lebih bermartabat jika pendidikan hukum diarahkan pada kesadaran untuk mencegah diri dari tindakan-tindakan beradiasi aktif dan mendistorsi moral agama (preventif) dan bukan kepada efek jeranya (kuratif)?

Jika kita percaya bahwa setiap insiden politik ada teori konspiratif yang membelakanginya, adalah baik untuk meluruskan hal itu dalam kasus cambuk ini. Seperti yang tengah ramai disebutkan dalam pemberitaan, setelah kasus korupsi Puteh, kini beberapa pejabat dan mantan pejabat eksekutif dan legislatif NAD tengah terbirit-birit lintang pukang menyembunyikan bukti-bukti yang dapat menjeratnya sebagai koruptor. Opini tentang kasus cambuk telah memberikan jeda waktu dan membiarkan masyarakat mempercakapkan hadirnya sebuah momentum yang tidak monumental dalam kehidupannya.

Dengan segenap pikiran dan perasaan, kita boleh menjamin bahwa tidak sedikitpun keimanan dan spiritualitas masyarakat Aceh kepada Syariat Islam akan tergeser atau berkurang kalaupun hukuman tersebut tidak jadi dilaksanakan. Kasus kecil ini seharusnya cukup diselesaikan dengan tata cara hukum positif yang berlaku sekarang melalui KUHP dan tidak perlu mempertontonkan kekejaman baru dalam masyarakat dengan dalih Syariat Islam



__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard