Post Info TOPIC: Good Governance untuk Aceh
Maryati B

Date:
Good Governance untuk Aceh
Permalink   


Alkisah, beberapa bulan lalu beberapa aktivis Forum Akademisi Aceh (FAA) beraudiensi dengan sebuah lembaga dan negara yang bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun Good Governance di Indonesia.

Menurut mareka yang khusus bekerja untuk membangun good governance di Aceh, iklim good governance itu begitu penting, sehingga jika indikasi ini terabaikan, maka ada kemungkinan negara donor tidak akan merealisasikan dana untuk rekonstruksi Aceh. Artinya, jika Pemerintah Daerah Aceh dapat dijamin telah terwujud sebagai good governance, dalam arti telah memiliki kriteria yang dibutuhkan untuk itu, maka kepercayaan pun dapat dilimpahkan negara donor. Good governance merupakan bentuk pemerintahan yang memiliki transparansi dan akuntabilitas.

Berprilaku partisipatif, akomodatif, kooperatif, sinergi antar pelaku, individual dan intitusional, serta bottom up. Dengan ciri-ciri tersebut sistem good governance memang mengecilkan peran negara dan menyerahkan peran-peran yang dimiliki government kepada rakyat. Dengan ciri itu pula good governance menjadi sistem pemerintahan yang demokratis serta berada di bawah kontrol rakyat.

Oleh karena itu besar kemungkinan dapat dicegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tantangan Adanya transparansi dan akuntabilitas serta control rakyat itulah yang menyebabkan good governance untuk pemerintahan daerah di Aceh yang sedang melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi setelah Aceh diluluhlantakkan tsunami tanggal 26 Desember 2004 sangat diperlukan.

Hal ini beralasan mengingat adanya data dari sebuah majalah top di Asia (Asia Week) yang menyatakan bahwa Indonesia negara terkorup di Asia dan Aceh merupakan wilayah terkorup di Indonesia. Sementara puluhan trilyun dan adijanjikan masayarakat internasional akan dialirkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi Aceh yang telah porak poranda.

Mengapa korupsi bisa menjadi rangking teratas di Indonesia dan Aceh, disebabkan situasi dan kondisi yang tercipta sebelumnya. Indonesia yang telah dilanda kehancuran moral oleh sistem pemerintahan yang otoriter selama 32 tahun bahkan sejak kemerdekaan, telah merubah watak manusia menjadi lebih mengutamakan hidup enak (hedonisme) tanpa bersusah payah berkerja, dan tidak ingin memikirkan nasib orang banyak.

Sementara di Aceh, setelah moral hancur oleh sistem pemerintahan Jakarta, konflik juga menghalangi control rakyat terhadap pemerintah dan meniadakaij-prilaku partisipatif dan akomodatif sehingga mengharamkan yang berbau bottom up. Tegasnya dampak konflik menghancurkan moral yang telah hancur oleh kebijakan Jakarta sehingga korupsi lebih parah merambah tanah Serambi Mekah yang menerapkan syariat Islam.

Membangun sistem good governance bukanlah hal yang mudah ditengah iklim kehancuran moral. Masalahnya kesiapan mental pelaku pelayanan publik telah begitu tipis saat ini. Lebih celaka lagi, para pelayan publik benar-benar tidak kapok kepada apa yang seharusnya menjadi momok, yakni sanksi-sanksi hukum yang selama ini telah ditimpakan kepada kolega mareka. Akibatnya, secara beruntun wakil rakyat hingga bupati/wali kota menjadi tersangka hingga penghuni sel tahanan karena tuduhan atau terbukti melakukan korupsi.

Setelah para anggota DPRD Kota Banda Aceh menjadi tahanan dan bebas, giliran anggota DPRD Tk I akan diperiksa, atau setelah mantan wali kota Banda Aceh dipenjara menyusul gubernur, giliran sejumlah bupati diperiksa yang kesemuanya dengan dakwaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Apabila kebanyakan pejabat atau calon pejabat atau pelayan publik bermental KKN dan mengalami demoralisasi hingga ke wilayah susila, siapa lagi akan dipilih dan diberi kepercayaan oleh rakyat. Apalagi tak terkecuali mereka yang seharusnya menjadi panutanpun terlibat, sehingga mantan mentri agama menjadi tersangka karena masalah dana abadi umat dan departemen agama menjadi departemen terkorup.

Mewujudkan good governance di negara yang telah larut dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme hampir-hampir mustahil. Untuk ber-KKN pihak stake holder memiliki nyali yang lebih besar dibandingkan rasa takut kepada ancaman. Oleh karena itu narasuber KKN terus terpelihara sehingga menjadi darah daging yang tak lapuk di hujan tak lekang dipanas. KUH Pidana, Undang-Undang antikorupsi, dan lain-lain ancaman telah kebal untuk mereka.

Qanun dalam rangka penegakan syariat Islam terlalu lama diberlakukan bagi pelaku korupsi. Hukuman cambuk yang telah dilaksanakan untuk pelaku maisir dan peminum khamar malah terkesan santai dan seremonial saja. Apalagi jika tidak ada pemotongan tangan dan pengembalian harta curian bagi pencuri dan koruptor. Memang tak ada yang perlu ditakuti jika para penyidik, jaksa dan hakim masih dapat dibeli dengan uang dan pengaruh jabatan.

Namun, upaya ke arah terwujudnya good governance telah ada, antara lain dengan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadasung) yang berlandaskan Undang-undang No. 8 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dengan peraturan pelaksananya Qanun No 2 Tahun 2004 yang dipermasalahkan Jakarta, sementara di bagian Indonesia lainnya berpijak pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Melalui pemilihan langsung yang bagaimana seorang kandidat gubernur, wali kota atau bupati dan pasangannya dipilih?

Mareka bisa saja terpilih dengan suara terbanyak secara langsung tanpa intimidasi siapapun atau benar-benar demokratis. Akan tetapi sudah terjaminkah adanya itikad baik bagi perwujudan good governance melalui pimpinan calon terpilih menurut penilaian rakyat, tanpa terlebih dahulu rakyat dibekali pendidikan politik yang matang?

Selain itu seberapa jauhkah seorang kandidat dapat dikenal rakyat sebagai orang yang akan menjadi the clien man dan bermoral setelah memegang jabatan, transparansi, akuntabilitas, kooperatif, akomodatif, partisipatif, dan bottom up? Jangan-jangan rakyat cuma terbuai dengan janji-janji dan kelihaian sang kandidat dalam mencari simpati, kalau tidak karena balas budi untuk money politic, atau dukungan pihak yang interest. Konon lagi jika kesempatan menilai tidak fair karena kondisi keamanan di daerah konflik seperti di Aceh apabila pengaruh militer belum berakhir.

Pendidikan politik sebagai tahap awal ke arah terwujud good governance itu teramat penting. Sosialisasi Pilkada tidak akan menjawab kebutuhan akan penilaian objektif bagi sang kandidat. Lalu siapa yang akan membekali rakyat arus bawah yang mayoritas dan selalu tertindas itu?

Langkah berikutnya adalah adanya monitoring publik dari masyarakat yang benar-benar partisipatif, termasuk dari mahasiswa dan akademisi. Monitoring ini paling mendesak dilakukan selama pelaksanaan rekontruksi dan rehabilitasi, termasuk pengawasan pilkada. Monitoring rekontruksi menjadi issue penting dan banyak alasan bagi keterlibatan masyarakat.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) memang memiliki badan Pengawas sendiri. Akan tetapi tanpa keterlibatan monitoring publik tidak akan ada akuntabilitas. Monitoring publik yang tak memerlukan birokarasi itu dapat mengangkat ketimpangan-ketimpangan di tengah masyarakat korban. Apalagi BRR bergerak begitu lamban, tertinggal jauh di belakang masyarakat internasional baik NGO, negara donor, maupun PBB dalam membangun kembali dan merehabilitasi kerusakan di Aceh baik fisik maupunnon fisik.

Fungsi lembaga monitoring publik ini bukan cuma mencegah korupsi, akan tetapi bagaimana prinsip keadilan benar-benar dapat ditegakkan bagi masyarakat korban dan masyarakat yang terkena dampak tsunami atau masyarakat miskin yang sebelum tsunami hanya menjadi penonton. Monitoring publik bukan hanya diperlukan untuk proses rekonstruksi, akan tetapi untuk keseluruhan proses pelaksanaan pelayanan publik.

Namun monitoring publik tidak akan efektif tanpa adanya keberanian mempublikasikan temuan-temuan di lapangan secara objektif dan adanya tindak lanjut setelah itu serta adanya penyidik, jaksa dan hakim yang tak bisa diperjualbelikan serta respon rakyat yang positif.

Penggunaan jembatan monitoring publik tidak akan memiskinkan yang telah miskin, akan tetapi pemerataan bantuan bagi korban tsunami dan tercegahnya korupsi, kolusi dan nepostisme lebih terjamin. Seperti lebih terjaminnya hasil pemilihan yang demokratis bagi pilkada. Yang lebih penting lagi bagaimana cap “wilayah terkorup” di Asia bagi Aceh yang memalukan itu terhapus jika good governance bisa diwujudkan atas partisipasi semua pihak, menyongsong penandatangan kesepakatan damai untuk mengakhiri konflik 30 tahun.


__________________
Page 1 of 1  sorted by
 
Tweet this page Post to Digg Post to Del.icio.us


Create your own FREE Forum
Report Abuse
Powered by ActiveBoard